Your Ad Here


Edensor: Mozaik 21, Adam Smith Vs Rhoma Irama

Sebelumnya saya minta izin dulu sama Bang Andrea Hirata Semoga Tidak Marah cerita yang paling saya sukai dari buku Edensor karya beliau saya muat disini.

MOzaik 21 Adam Smith vs Rhoma Irama

Di Sorbonne, setiap hari aku diracuni ilmu meski aku tak ubahnya anak burung puyuh yang tersuruk-suruk mengejar induk belibis. Universitas ini menawarkan padaku sebuah petualangan intelektualitas dengan kemungkinan-kemungkinan yang amat luas. Setiap hari aku selalu tertantang untuk memacu kreativitas dalam bidang yang kutekuni. Aku menyimak kuliah selama dua jam tapi pengetahuan yang kudapat senilai kuliah satu semester waktu di tanah air. Jika kembali kuanalogikan pengalaman bak cahaya yang melesat-lesat di dalam gerbong seperti eksperimen Einstein itu kini aku menyongsong cahaya ekonometrik, statistik, aljabar, dan falsafah ekonomi, dan Einstein pasti mengatakan aku menyerap begitu banyak pelajaran dalam satuan waktu yang relatif singkat.
Setiap hari selalu ada saja hal baru yang menggairahkan kuperoleh dalam bidangku. Kini bangunan ilmu ekonomi yang telah lama teronggok dalam kepalaku, kurasakan berubah bentuknya, hidup, menggeliat, bertambah kapasitasnya, dan semakin dalam intensitasnya. Kini, aku mengerti secara teoritis maksud-maksud John Maynard Keynes, sang suhu bagi kaum monetarist, dan mengapa buah pikirannya memerangi pandangan klasik yang fenomenal dari si tua begawan ekonomi Adam smith. Sekarang, aku memahami arti ekonomi sebagai science, sebagai mazhab, bahkan sebagai seni dan filosofi. Semuanya karena dosen-dosen yang hebat di universitas ini menggambarkan dengan jelas gemunung ilmu eokonomi. Mereka mengajarkan dari sudut mana harus menyelusup untuk mendakinya, dan menunjukkan patok-patok untuk sampai ke puncaknya, sehingga aku dapat memetakan peluangku untuk menyumbangkan ilmuku: sebagai seorang pendidik, peneliti, konsultan, atau pembuat kebijakan. Lebih dari semuanya, aku ingin sekali menjadi seperti Adam Smith, menjadi seorang economics scientist, ilmuwan ekonomi Karena itu, konsentrasi studi yang kuambil di Sorbonne adalah Economics Science.
Aku sangat gandrung pada ide-ide Adam Smith. Berulang kali kubaca bukunya yang fenomenal itu: An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, sampai hapal beberapa bagian. Membaca judulnya saja rasanya aku bergetar-getar. Sungguh istimewa buku yang ditulisnya tahun 1776 itu. Buku itu mengandung kristalisasi pemikiran dengan visi yang timeless. Menurut
pendapatku, buku ini wajib dibaca oleh siapa pun yang mengaku dirinya mahasiswa ekonomi, atau siapa saja yang bertanggung jawab mengurusi hajat hidup orang banyak di suatu negeri. Tak heran Michael Hart mendudukkan Adam smith, laki-laki Skotlandia itu, pada bangku nomor tiga puluh tujuh sebagai manusia paling berpengaruh dalam sejarah. Dia hanya satu nomor kalah penting dari William Shakespeare, tapi dia lebih berpengaruh dari Thomas Alpha Edison.
Perlahan tapi pasti aku bermetamorfosis menjadi penganut fanatik ekonomi klasik ajaran Adam Smith. Aku tertegun membaca salinan pokok-pokok pikiran beliau yang berusia hampir tiga ratus tahun.

Adam Smith barmata sendu tapi meradang, muka ia mirip Rhoma irama. Kucetak fotonya besar-besar, 20 R, kupigura dan kusandingkan dengan foto idolaku Rhoma Irama, yang jauh-jauh kubawa dari tanah air.

Dulu cita-citaku ingin menjadi pemain bulu tangkis, lalu gagal, dan kini Adam Smith mendidihkan gairahku untuk menjadi ilmuwan ekonomi. Rhoma Irama adalah sahabat lamaku, kukenal dia sejak poster Hujan Duit-nya menutupi lubang dinding SD-ku dulu.
Sering, jka kehabisan ide untuk paperku, atau kelelahan ditimbuni tugas kuliah hingga batok kepalaku menciut, aku melongo di depan foto Adam Smith dan Rhoma Irama. Kucoba berdialog secara imajiner dengan mereka.
Adam Smith, selalu seperti orang yang tersinggung, kejengkelan berdesakan dalam kepalanya karena orang-orang tak memahami kegeniusannya.
Aku bertanya, "Bagaimana Anda bisa menjadi begitu pintar", Tuan Smith?"
Dia diam saja, tak acuh. Air mukanya berkata: Enyahlah, Anak Muda! Merepotkan saja. Apa pun yang kukatakan tak'kan kau mengerti! Belajarlah sana dengan dosen-dosen Prancis goblokmu itu!
Aku mundur.
"Oke, oke, Tuan Smith, tak perlu marah-marah begitu ...."
Aku berbalik, minggat meninggalkan Tuan Smith yang sedang tidak mood. Tapi baru beberapa langkah aku kaget.
"Hei Orang Udik! Memangnya siapa kamu? Dari mana asalmu?"
Aku terkejut. Tuan Smith bertanya padaku! Aku berbalik, kembali menghampiri Tuan Smith.

"Dari Pulau Belitong, Tuan Smith."
"Di mana itu?"
"Di Indonesia, Tuan Smith ...."
"Indonesia? Di mana itu?"
Aduh, aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan. Kata-kataku macet.
"Ah, sudahlah, Anak Muda. Lupakan saja. Tapi maukah kau bercerita tentang negerimu?"
"Negeriku?"
"Ya, negerimu? Adakah orang-orang pintar di sana?"
Pertanyaan yang sulit.
"Ceritakanlah."
Dilematis!
"Ayo, kisahkan kepadaku tentang orang-orang pintar di negerimu. Apa saja terobosan ilmiah mereka?"
Runyam sekali karena aku hanya tahu satu hal tentang orang-orang pintar di negeriku.
"Ayo, Anak Muda, jawablah."
Aku melongo dan aku ingin jujur.
"Banyak, Tuan Smith. Di negeriku banyak sekali orang pintar. pintar mencuri uang Negara."
Wajah Tuan Smith merah padam. Matanya melotot menahan teriakan. Gagasan yang hebat dan kemarahan ilmiah yang terkunci dalam wajahnya seolah akan meledak. Ia memberi isyarat agar aku mendekat. Bola matanya lirak-lirik kiri kanan, seperti takut ada yang memata-matai. Ia berbisik, emosional, histeris, tertahan.
"Apa kataku dulu! Apa kata teoriku dulu! Benar,
kan? Pengaruh uang tak ubahnya siulan iblis!" Tuan Smith kembang kempis.
"Semua itu gara-gara kaum monetarist keparat itu!!"
Aku bingung. Aku ingin bertanya: mengapa? Tapi Tuan Smith tak memberiku kesempatan. Ia muntab.
"Kau tahu?! Kaum monetarist bersekongkol mengumpulkan uang agar negeri seperti kalian dapat berutang, lalu pelan-pelan negeri kalian tergadai! Mereka itu tak ubahnya rentenir! Kolonial model baru! Tukang ijon! Teori mereka ... teori mereka ...."
Tuan Smith sontak berhenti. Rupanya ada orang lewat, Arai. Tuan Smith kembali ke sikap semula, sebuah foto yang tak acuh, seakan tak terjadi apa-apa. Aku pun begitu. Aku tak mau dianggap sinting oleh Arai karena bicara dergan foto. Kami menyaksikan Arai meninggalkan ruangan. Tuan Smith menarik kerah bajuku.
"Teori mereka? Pambangunan ekonomi berlandaskan moneter? Omong kosong sama sekali! Keynesians itu adalah turis dalam ilmu ekonomi, lebih cocok kalau mereka dimasukkan ke dalam sel! Uang! Semuanya Uang! Lihatlah akibatnya pada pencuri-pencuri uang di negerimu itu!" Aku mengangguk takzim. Tuan Smith makin semangat.
"Proyek fisik! Lapangan kerja! Itulah solusi semua masalah!! Selain itu hanya bualan. Sekarang, lihatlah negerimu itu! Ditelikung dari luar, digerogoti

dari dalam, tendangan penalti! Sebelas langkah lagi negerimu menuju bangkrut!!"
Mengerikan! Sungguh mengerikan. Aku sampai merinding mendengarnya. Pelajaran moral nomor tiga belas segera kutarik: jangan bicarakan keadaan negeri kita dengan seorang ekonom klasik. Pesimis!
"Satu lagi, Anak Muda, tapi ini rahasia!!"
Tuan Smith celingak-celinguk. "Tak banyak orang yang tahu! Rahasia ini agak berbahaya! Bisakah kau menjaga rahasia?!" nada Tuan Smith mengancam. "Bisa?!" "Bisa, Tuan Smith ...."
Tuan Smith berbisik keras, "John Maynard Keynes yang wajahnya seperti lutung habis bercukur itu sebenarrya adalah mantri hewan yang menyaru menjadi dosen ekonomi!"
Aku tersentak, luar biasa! Setelah kurenungkan dalam-dalam, boleh jadi informasi itu benar adanya.
"Setujukah engkau dengan pandapatku itu, Anak Muda?'
Tuan Smith menyentak kerah bajuku, aku tercekik.
"Setuju?"
Setelah kujawab setuju, baru ia melepaskanku.
Tuan Smith tersenyum puas, demikian pula Rhoma Irama di sebelahnya. Pada detik itu aku langsung tahu rahasia lain bahwa ternyata Rhoma Irama juga penganut mazhab klasik! Aku ingin sekali mendengar komentarnya.
"Kak Rhoma... apa gerangan pendapatmu tentang negeri kita?"
Disertai senyum simpatik khasnya, beliau menjawab optimis sambil mengutip salah satu judul lagu terkenalnya.
"Ok dech ... bagi yang mudha, yang punya ghaya ... Rambathe Ratha Hayo! Singsingkanh lenganh bajuhh kalau kitah mauh majuhh!!"

0 Comments »

Leave a comment

The Irwandiaz Husen: © 2009 All rights reserved